Sabtu, 21 Januari 2012

NADZOM IQOMAH RUKUN ISLAM

PUJI KAGUNGAN ALLAH
ROHMAT SALAM KA RASULULLAH
SOHABAT TUR KULAWARGI
PEJUANG AGAMA ALLAH

ISLAM AGAMA NU BENER
SEJAHTERA LUAS TUR DAMAI
RUKUNNA LIMA UTAMA
AMALKEUN MASING SAMPURNA

SYAHADAT TEH PONDASINA
SHOLAT TEH JADI TIHANGNA
ZAKAT DINDING SHAUM KUSENNA
HAJI NU JADI KENTENGNA

RUKUN ISLAM TEH PAHAMKEUN
AMALIAHNA GERAKKEUN
PENGGERAKNA GE DI JIEUN
AGUNGNA ISLAM BUKTIKEUN

SYAHADAT KUDU NGABUKUR
MA’RIFAT, MAHABBAH, SYUKUR
JIHAD BERJUANG SING AKUR
HATE IKHLAS ULAH KABUR

SYAHADAT TEH DIKUATAN
TOLAB ELMU, MACA QUR’AN
LOBA DZIKIR KA PANGERAN
NGALAWAN NAFSU JEUNG SETAN

SOLAT GE KUDU NGABUAH
MUNAJAT SINARENG QURBAH
TA’AWUN SARENG IMAMAH
KAHIRUPAN SING BAROKAH

SOLAT KUDU DIPERKUAT
AWAL WAKTU BERJAMAAT
MAKMUR MASJID KHUSYU KHIDMAT
SING LENGKEP FARDHU JEUNG SUNAT

QOBLIYAH BA’DIYAH KETAT
TAHAJUD, TASBEH JEUNG HAJAT
DHUHA JEUNG SUNAT SEJEN NA
USAHAKEUN SING SAMPURNA

ZAKAT SING PUGUH BUKTINA
TANMIYAH JEUNG BAROKAHNA
TA’AWUN, TAQODDUM, IZZAH
ISLAM TEH NYATA HEBATNA

ZAKAT NYATA PERJUANGAN
MUN NISAB GEURA ZAKATAN
CAN NISAB GE LALANYAHAN
DUA SETENGAH PERSENAN

TI LEULEUTIK BIASAKEUN
SAWAREHNA HARTA BIKEUN
BENTUK AMILIN NU LEUKEUN
SIFAT AMANAH TEGAKEUN

SHAUM OGE KUDU NYATA
SOBAR, TAHAMUL, QURBAH NA
BAROKAH SARTA WUSULNA
ISLAM TEH NYATA TANGGUHNA

SHAUM ROMADHON MANTEPKEUN
TADARUS QIYAM LENGKEPKEUN
ZAKAT FITRI LAKSANAKEUN
SILATURAHMI KUATKEUN

SHAUM WAJIB SING SAMPURNA
SUNNAT JEUNG SENEN KEMISNA
‘ARFAH DAUD JEUNG LIYANA
SHAUM KASUCIAN NANA

HAJI KUDU BUKTI MABRUR
IMAN IBADAHNA LUHUR
BISA NGAGERAKEUN BATUR
UMAT AKUR ISLAM LUHUR

LEADERSHIP SULUKIYAH

Kepemimpinan Sulukiyah untuk Kesejahteraan

Di Indonesia, kritik banyak disemburkan dari apa yang disebut oleh Samuel P. Huntington sebagai general opposition. Yaitu kelompok oposisi yang berada di luar mainstream politik praktis. Mulai dari media massa yang merepsentasi pandangan atau kepentingan pemilik, LSM, mahasiswa, cerdik cendikia hingga tokoh agama atau ulama.

Pada tahun–tahun yang lalu Presiden SBY diserang kritik melalui pendekatan propagandis name calling. Frase lamban, senang curhat, musisi (karena meluncurkan album), dan berbagai semat-semat negatif lainnya, menjadi kosa kata perlawanan mereka. Kini muncul istilah baru yang seolah mengakumulasi semua “dosa-dosa” kepemimpinan Presiden SBY. Istilah baru tersebut adalah “negeri autopilot”.

Negeri Autopilot


Istilah ini menjadi populer seiring bertebarannya sejumlah spanduk pada tempat-tempat strategis di Ibu Kota beberapa waktu yang lalu. Salah satu stasiun televisi swasta bahkan membedah tema “negeri autopilot” tersebut secara live dengan dihadiri berbagai komponen bangsa. Autopilot, menjadi penanda gerbang tahun politik. Menabuh intro politik tahun 2012.

Meminjam analisis Efendi Ghazali, pakar komunikasi politik UI, bahwa salah satu pesan mendalam yang ingin disampaikan yang empunya spanduk tersebut adalah bahwa pemerintah saat ini tak lagi dirasakan keberadaannya oleh rakyat. Negara bergerak secara otomatis tanpa navigator, sebagaimana definisi terminologis autopilot. Secara ekstrim, bahkan ada yang mengatakan bahwa tanpa SBY-Boediono rakyat juga bisa makan. Artinya, rakyat tak lagi butuh pemerintah. Keberadaan negara dan pemimpinnya sering kali justru menjadi momok, sebagaimana kejadian di Bima, Mesuji dan Papua.

Masih dalam konteks tematis tentang krisis kepemimpinan, menarik kita cermati adalah mulai maraknya “kampanye” sejumlah tokoh partai politik yang bisa kita baca arahnya sebagai upaya memperkuat penokohan menuju pilpres 2014. Berupaya merebut empaty rakyat dengan pencitraan.
Kehadiran mereka melalui sejumlah iklan, menjadi preposisi pesta demokrasi lima tahunan. Seperti ingin menjawab krisis kepemimpinan yang terjadi.

Namun, hampir semua tokoh yang dielu-elukan tersebut berasal dari kalangan partai politik dan merupakan stock lama. Sebutlah misalnya Abu Rizal Bakrie, Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Wiranto dan Hatta Rajasa.

Akan tetapi, di luar “stock lama” yang tawarkan parpol tersebut, ada juga tokoh yang namanya santer dikaitkan dengan pilpres 2014 dan ia berasal dari luar parpol (non partisan). Dialah Dahlan Iskan (sekarang lebih populer diakronikman dengan DIS). Berbeda dengan tokoh dari parpol yang memang sengaja menyosialisasikan dirinya dengan berbagai perangkat propaganda, termasuk melalui struktur kekuatannya pada parpol, perusahaan atau lembaga lain yang sepatron, nama DIS justru lahir dari dorongan publik.

Bahkan, beberapa parpol juga turut mengapresasi munculnya nama DIS. Namun menurut penulis, dukungan parpol tersebut tidak lepas dari aksi profit taking (ambil untung) dari daya magnetis tokoh DIS, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) KIB Jilid II hasil reshuffle kabinet 2011.
DIS menarik perhatian publik karena berbagai alasan. Diantaranya, prestasi DIS selama memimpin PLN dan gebrakannya ketika menduduki jabatan Menteri BUMN. Tapi lebih dari itu, jika kita flash back menjejaki rekam politik Indonesia pasca reformasi, setidaknya ada tiga alasan kuat yang sebenarnya menjadi stimulan mengapa tokoh independen lebih diterima oleh publik.

Pertama, demokrasi pascareformasi terjebak dalam demokrasi prosedural yang berbiaya tinggi. Akibatnya (kedua), yang muncul adalah pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki integritas. Yaitu pemimpin yang dilahirkan dari rongga-rongga kapital. Pola ini, menjebak demokrasi terbungkam oleh katel ekonomi politik.

Akhirnya (ketiga), radius korupsi meluas dari sentrumnya. Hasrat berkuasa memaksa mereka menghalalkan segala cara. Termasuk menggerogoti uang negara demi mengepulkan mesin politik. Apatah lagi dengan otonomi daerah, maka korupsi menggurita, jika pada masa Orde Baru korupsi hanya terpusat di Jakarta, kini korupsi hingga ke daerah-daerah. Salah satu faktanya, Kementrian Dalam Negeri melansir, sejak 2004 ada 155 kepala daerah yang tersangkut korupsi.

Oleh karenanya, dengan pola rekrutmen dan regenerasi kepemimpinan berintegritas, maka kultur demokrasi Indonesia bisa direkonstruksi. Penulis haqqul yaqin bahwa ongkos politik menjadi lebih murah. Mereka yang bermental korup dan tak memiliki integritas, tak lagi tertarik terjun ke dunia politik karena “tidak laku”.

Kepemimpinan Sufistik


Seperti ditulis oleh John Adair (2010), mengutip dari penyair Inggris William Words Worth di dalam Happy Warrior, pemimpin berintegritas adalah “Who comprehends his trust, and to the same. Keef faithfull with singleness of aim. And therefore does not stop, nor lie in wait. For wealth or honour, or for wordly state.” Yang berarti “yang memahamai kepercayaan, dan karenanya, menjaga kesetiaan dengan satu tujuan. Sehingga tidak berhenti apa lagi menanti kekayaan atau kehormatan atau menikmati duniawi”. Artinya bahwa kepemimpinan berintegritas menjadi transformasi nilai-nilai yang transenden.

Di dalam tradisi sufistik, dikenal istilah sulukiyah. Mengutip dari Aprinus Salam (2004), suluk berasal dari kata salaka yang berarti menempuh, melalui atau cara. Sedangkan secara termin, sulukiyah berarti jalan yang ditempuh menuju Sang Maha Pencipta. Artinya bahwa sulukiyah mewujud transformasi sikap mental spiritual menuju titik terdekat dengan Allah SWT melalui proses taqarrub. Baik dimediasi oleh amal individu maupun oleh amal sosial.

Dalam konteks kepemimpinan, maka menjaga amanah tersebut merupakan bagian dari upaya taqarrub kepada Allah SWT. Jika dikawinkan dengan manajemen modern, model ini adalah antitesa pseudo leadership atau kepemimpinan kamuflase, yang oleh pakar manajemen John Maxwell, ia sederhanakan melalui ungkapan Donna Harrison. Yaitu berusaha keras mencapai tingkat pencapaian yang lebih tinggi demi mewujudkan visi kepemimpinan untuk publik. Bergerak memintal potensi integritas dari satu ruang kepemimpinan tersebut.

Dengan hadirnya kepemimpinan yang mengambil lajur sulukiyah ini, maka korupsi yang banyak berakar dari perilaku politik, akan tereduksi perlahan sehingga berimplikasi positif bagi peningkatan ekonomi rakyat. Kebocoran anggaran negara yang selama ini dirampok oleh mafia anggaran, bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Alokasi bagi pembangunan untuk kesejahteraan rakyat pun lebih optimal. Inilah korelasi antara kepemimpinan yang berpusat pada energi sulukiyah dengan kesejahteraan rakyat. Yang pasti, kepemimpinan sulukiyah akan mengeliminasi stigma negeri autopilot.

Rabu, 11 Januari 2012

Demokrasi Versus Nomokrasi


Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Sebuah penjelasan yang jarang diperoleh tentang tata pemerintahan Islam versus humanis-atheis.

Pengorganisasian masyarakat Islam dilaksanakan dalam suatu tatanan masyarakat kesejahteraan yang dijalankan oleh suatu Daulah, mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam syariah. Menurut Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi (2002) dalam Sultaniyya kata Daulah (Arab: Dawla) memiliki akar kata dal-alif-lam dan memiliki arti 'merubah setiap saat, mengambil giliran, menggantikan dan memutar'. Kata ini juga bermakna 'memenangkan dan mengungguli'; juga memiliki arti 'menukar, dan meneruskan'. Dari sini dijelaskan pengertiannya yang lebih luas bahwa tatanan politik Islam harus didasarkan kepada pergerakan dan pemerataan kekayaan. Tiga kekuatan yang melekat di dalamnya yang akan menggerakkan kekayaan ini adalah: pasar dan perdagangan, zakat, dan sebagai instrumen pemerataan terakhir, melalui jalan pembagian harta pampasan perang (ghanam).

Nomokrasi

Tatanan politik Islam in dapat dikenali sebagai Nomokrasi: bermakna 'hukum yang berkuasa' (rule of law). Berbeda dari demokrasi yang mengenal tiga pilar sebagaimana disebut di atas nomokrasi hanya mengenal dua pilar: eksekutif dan yudikatif. Dalam tata pemerintahan Islam tidak dikenal lembaga legislatif. Dengan kata lain, berbeda dari negara demokrasi yang mengatur kehidupan berdasarkan ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh manusia (legislatif), dan karena itu kekuasaan (sovereignty) ada di tangan beberapa orang (yang disebut sebagai Parlemen itu), nomokrasi Islam mengatur kehidupan berdasarkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariah.

Konsekuensi pertama dari tata pemerintahan yang berbeda ini adalah ada atau tidaknya 'kelas politisi'. Dalam demokrasi, dengan sendirinya, diciptakan kelas politisi, yang mengklaim diri mereka mewakili warga negara lainnya, tetapi dalam kenyataannya hanya bertindak untuk menjaga kepentingan tertentu yang diabdinya. Paling jauh mereka mewakili kepentingan pribadi mereka. Dalam nomokrasi Islam tidak dimungkinkan terciptanya 'kelas politisi', apalagi 'kelas kapitalis', karena dua alasan. Pertama, Islam tidak mengenal konsep perwakilan politik sebagaimana telah disebutkan di atas. Kedua karena riba dilarang dalam Islam, mekanisme utama terbangunnya kapitalisme tidak dimungkinkan.

Untuk mempertegasnya, sekali lagi, tata pemerintahan Islam tidak dijalankan atas dasar kekuasaan pada manusia (konstitusi, Parlemen) melainkan atas dasar ketentuan hukum (rule of law, syariah). Hukum buatan manusia bukanlah hukum yang sebenarnya yang bertujuan menciptakan keadilan, melainkan cerminan kepentingan-kepentingan mereka yang menyusunnya. Dalam nomokrasi, kalaupun ada semacam Parlemen maka perannya bukanlah membuat dan menetapkan undang-undang, tetapi merupakan lembaga konsultatif, yang dikenal sebagai shura. Hukum syariah juga bukan 'milik' eksekutif, karena ia bersifat abadi.

Para fuqaha yang mengendalikan cabang eksekutif semata-mata hanya menafsirkan syariah berdasarkan ketentuan fikih. Kita akan kembali membahas soal ini nanti, dan menunjukkan kekeliruan para pembaru Islam, yang mengajukan suatu konsepsi yang disebut sebagai 'sistem hukum modern berdasarkan syariah'. Pembentukan otoritas dalam nomokrasi Islam, yang sekaligus menjadi sumber legitimasinya, tidak dilakukan dengan cara 'pemilihan umum' sebagaimana dalam sistem demokrasi, melainkan melalui pengakuan langsung atas otoritas sang pemimpin (baiat).

Penegakkan Amr

Pengakuan dan pembentukan otoritas (amr), dalam Islam, wajib hukumnya. Al Mawardi dalam bukunya, Al Ahkam as-Sultaniyyah mengatakan, 'Kepemimpinan ditetapkan untuk melanjutkan kerasulan sebagai cara untuk menjaga dien dan mengelola urusan dunia'. Ibn Khaldun, dalam bukunya Muqaddimah, juga menyatakan hal yang sama. Ia mengatakan, 'otoritas untuk dapat melakukannya (memenuhi ketetapan syariah dan urusan dunia) dipegang oleh wakil hukum agama, yakni Rasul; dan kemudian pihak yang meneruskannya, para khalifah'. Dan otoritas yang terbentuk ini, seperti telah disinggung di atas, tidak mewakili kehendak kolektif rakyat - yang bisa benar atau salah - tetapi mewakili kehendak Allah, yang tidak mungkin salah.

Satu-satunya standar untuk mengevaluasi otoritas bersangkutan adalah apakah ia accountable atau tidak terhadap ketetapan syariah. Dengan kata lain, sang pemimpin, harus tunduk terhadap ketetapan otoritas yang lebih tinggiyang bukan datang dari manusia lain (yang diklaim sebagai 'rakyat' [Konstitusi] dalam sistem demokrasi), tetapi dari Allah. Di sini fungsi sebenarnya para fuqaha adalah sebagai kekuatan pengendali para pemegang otoritas, bukan seperti yang terjadi di zaman kini ketika para ulam ajustru mengambilalih kepemimpinan umat. Akibatnya, terbentuklah semacam 'kerahiban' di satu sisi, dan kevakuman kepemimpinan politik umat di lain sisi.

Dalam buku-buku teks ilmu politik pandangan semacam ini, tentu saja, tidak pernah dituliskan. Sebab teori politik modern didasarkan kepada keyakinan bahwa 'Kekuasaan" ada di tangan 'rakyat' dan di luar itu diberi arti sebagai tirani. Dalam Islam otoritas tertinggi dan valid tiada lain, tentu saja, adalah yang ada pada Allah sendiri. Inilah nomokrasi yang, secara pejoratif, acap dilabelisasi sebagai teo-krasi. Nomokrasi merupakan tatanan masyarakat yang berdasarkan pada fitrah. Sedangkan demokrasi, atau tepatnya sistem negara struktural, adalah tatanan masyarakat yang dikendalikan oleh sebuah mesin kekuasaan, sistem yang dirancang atas dasar rasionalisme. Tujuan negara struktural adalah untuk mengendalikan dan menindas hak-hak pribadi warga negaranya sendiri.

Dalam konteks ini dengan mudah dapat ditunjukkan inkonsistensi 'teori politik Islam' yang mengajarkan tentang 'demokrasi Islam'. Seorang pemimpin yang menetapkan bahwa 'riba itu haram' berarti ia bertindak 'mewakili' Allah dengan menjalankan syariah. Ia menjadi penguasa yang accountable. Sedang demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Seandainya mayoritas, kehendak kolektif publik, mengatakan bahwa 'riba itu halal' dan penguasa mengikutinya dan memutuskan bahwa 'riba itu halal', ia telah bertindak demokratis. Tapi, keputusan ini tidak lantas menafikan ketetapan syariah, bahwa 'riba itu haram'. Hal ini hanya membuktikan bahwa 'perwakilan rakyat', bagaimana pun, tidak dapat melangkahi otoritas Allah.

Daulah Islam, berbeda dengan negara fiskal, tidak menarik pajak dari warganya. Satu-satunya 'pajak' yang ditariknya, secara terbatas kepada orang kaya saja dan dalam proporsi yang sangat kecil (tergantung komoditas yang terkena ketentuan), adalah zakat. Zakat, tidak seperti pajak, tidak sedikitpun yang dibolehkan untuk dipakai membiayai keperluan pemerintahan, melainkan sepenuhnya harus didistribusikan kepada anggota masyarakat yang berhak. Pembagian zakat harus dilaksanakan dalam waktu yang sangat segera dan karenanya tidak dimungkinkan terjadinya penimbunan(yang dalam konteks sekarang berarti berada dalam sistem perbankan). Pendapat sejumlah orang yangmengatakan bahwa pajak adalah 'zakat modern' sungguh keblinger. Zakat bukan (sumber) pendapatan pemerintah, tetapi merupakan bagian dari kewajiban pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

Islam Tak Mengenal Negara

Di sini sangat penting bagi kita untuk memahami makna istilah 'negara' secara tepat. Kita harus menemukan padanan yang paling sesuai dengan hukum Islam untuk suatu pengertian yang mengacu kepada suatu fungsi otoritas. Istilah yang tepat untuk itu hanyalah 'pemerintahan' (government) bukan 'negara' (state) yang secara lebih tepat berarti 'negara fiskal' (fiscal state) sebagaimana telah diuraikan di atas. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dan akan kita buktikan segera di sini, negara fiskal adalah konsepsi negara kapitalis yang asing bagi Islam.


Dengan sangat mudah dapat dibuktikan, di dalam mesin kekuasaan negara fiskal - negara-negara republik dan demokratis atau monarki parlementer atau negara sosialis - sebgaian besar pajak yang dikumpulkan negara dari rakyatnya berasal dari atau kembali kepada (sistem) perbankan. Modus ini beroperasi sejak awal terbentuknya negara fiskal ini, mengikuti diakhirinya tata pemerintahan personal di Eropa pada awal abad ke-18 dan abad ke-19. Perubahan radikal tata pemerintahan ini dimulai oleh Revolusi Perancis (1789), kemudian Revolusi 1848 (gerakan republikanisme) yang terjadi di berbagai wilayah Eropa.

�Dalam kapitalisme lanjut di zaman modern kini negara-bangsa justru kembali menjadi tidak relevan. Kedaulatan politik pada tingkat pemerintahan nasional telah hilang karena telah dipisahkan dari motor sumber kekuasaan itu, yakni uang. Rezim pemerintahan sah yang dibentuk melalui prosedur demokrasi (Pemilihan Umum) tidak lagi menjadi kewenangan, karena telah diambilalih oleh 'Kekuatan Uang' internasional. Prosedur pemilu demokratis itu sendiri telah sepenuhnya menjadi sekadar formula aritmatik yang berfungsi sebagai mesin politik yang menghasilkan pemimpin-pemimpin berkualitas buruk yang sebelumnya - melalui mekanisme partai politik - telah ditapis oleh kekuatan uang. Siapapun yang mampu mengumpulkan angka (suara) terbanyak;, yang dapat diperoleh dengan kekuatan uang (tanpa harus berarti membeli suara), dia yang akan memimpin.

*Kutipan dari buku "Ilusi Demokrasi" Bab 1- buku ini dapat diperoleh di Dinar Shop