Senin, 26 Maret 2012

APA ITU NUR MUHAMMAD?

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar


Dalam ilmu tasawuf, Nur Muhammad mempunyai pembahasan mendalam. Nur Muhammad disebut juga hakikat Muhammad.

Sering dihubungkan pula dengan beberapa istilah seperti al-qalam al-a’la (pena tertinggi), al-aql al-awwal (akal utama), amr Allah (urusan Allah), al-ruh, al-malak, al-ruh al-Ilahi, dan al-ruh al-Quddus.

Tentu saja, sebutan lainnya adalah insan kamil. Secara umum istilah-istilah itu berarti makhluk Allah yang paling tinggi, mulia, paling pertama dan utama. Seluruh makhluk berasal dan melalui dirinya. Itulah sebabnya Nur Muhammad pun disebut al-haq al-makhluq bih atau al-syajarah al-baidha' karena seluruh makhluk memancar darinya.

Ia bagaikan pohon yang daripadanya muncul berbagai planet dengan segala kompleksitasnya masing-masing. Nur Muhammad tidak persis identik dengan pribadi Nabi Muhammad SAW. Nur Muhammad sesungguhnya bukanlah persona manusia yang lebih dikenal sebagai nabi dan rasul terakhir.

Namun tak bisa dipisahkan dengan Nabi Muhammad sebagai person, karena representasi Nur Muhammad dan atau insan kamil adalah pribadi Muhammad yang penuh pesona. Manusia sesungguhnya adalah representasi insan kamil. Oleh karena itu, dalam artikel terdahulu, manusia dikenal sebagai makhluk mikrokosmos.

Sebab, manusia merupakan miniatur alam makrokosmos. Posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul dapat dikatakan sebagai miniatur makhluk mikrokosmos karena pada diri beliau merupakan tajalli Tuhan paling sempurna. Itu pula sebabnya, mengapa Nabi Muhammad mendapatkan berbagai macam keutamaan dibanding nabi-nabi sebelumnya.

Bahkan hadits-hadits Isra’ Mikraj menyebutkan, Rasulullah pernah mengimami nabi yang pernah hidup sebelumnya. Melalui Nur Muhammad, Tuhan menciptakan segala sesuatu. Dari segi ini, Al-Jilli menganggapnya qadim dan Ibnu ‘Arabi menganggapnya qadim dalam kapasitasnya sebagai ilmu Tuhan dan baharu ketika ia berwujud makhluk.

Namun perlu diingat bahwa konsep keqadiman, menurut Ibnu Arabi, ada dua macam, yaitu qadim dari segi dzat dan qadim dari segi sesuatu itu masuk ke wilayah ilmu Tuhan. Nur Muhammad, menurut Ibnu Arabi, masuk kategori qadim jenis kedua, yaitu bagian dari ilmu Tuhan (qadim al-hukmi) bukan dalam qadim al-dzati.

Dengan demikian, Nur Muhammad dapat dianggap qadim dalam perspektif qadim al-hukmi, namun juga dapat dianggap sebagai baharu dalam perspektif qadim al-dzati. Dalam satu riwayat juga pernah diungkapkan bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai nabi pertama dan terakhir.

Ia disebut sebagai nabi pertama dalam arti bapaknya para ruh (abu al-warh al-wahidah), nabi terakhir karena memang ia sebagai khatam an-nubuwwah wa al-mursalin.

Sedangkan, Nabi Adam hanya dikenang sebagai bapak biologis (abu al-jasad). Jika dikatakan Muhammad SAW nabi pertama dan terakhir bagi Allah SWT, tidak ada masalah.

Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang kelihatannya paradoks, seperti al-awwal wa al-akhir, al-dhahir wa al-bathin, al-jalal wa al-jamal, juga tidak ada masalah bagi-Nya, karena itu semua hanya di level puncak (al-a’yan ats-tsabitah) atau wujud potensial, tidak dalam wujud aktual (wujud al-kharij).

Dasar keberadaan Nur Muhammad dihubungkan dengan sejumlah ayat dan hadits. Di antaranya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan." (QS. Al-Maidah 15).

Ayat lainnya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab: 21). Ada pula hadits, "Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat."

Hadits riwayat Bukhari menjadi dasar lainnya, yaitu "Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur." Ada lagi suatu riwayat panjang yang banyak ditemukan dalam literatur tasawuf dan literatur-literatur Syiah adalah pertanyaan Sayyidina Ali RA kepada Rasulullah.

"Wahai Rasulullah, mohon dijelaskan apa yang diciptakan Allah sebelum semua makhluk diciptakan?"

Rasul menjawab, "Sebelum Allah menciptakan yang lain, terlebih dahulu Ia menciptakan nur nabimu (Nur Muhammad). Waktu itu belum ada lauh al-mahfuz, pena (qalam), neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, jin, dan manusia.

Kemudian dengan iradat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Ia membagi Nur itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Ia menciptakan qalam, lauh al-mahfuz, dan Arasy. Ketika Ia menciptakan lauh al-mahfuz dan qalam, pada qalam itu terdapat seratus simpul.

Jarak antar simpul sejauh dua tahun perjalanan. Lalu, Allah memerintahkan qalam menulis dan qalam bertanya, 'Ya Allah, apa yang harus saya tulis?' Allah menjawab, 'Tulis La Ilaha illa Allah, Muhammadan Rasul Allah.' Qalam menjawab, 'Alangkah agung dan indahnya nama itu, ia disebut bersama asma-Mu Yang Maha Suci.'

Allah kemudian berkata agar qalam menjaga perilakunya. Menurut Allah, nama tersebut adalah nama kekasih-Nya. Dari nur-Nya, Allah menciptakan Arasy, qalam, dan lauh al-mahfuz. Jika bukan karena dia, ujar Allah, dirinya tak akan menciptakan apa pun. Saat Allah menyatakan hal itu, qalam terbelah dua karena takutnya kepada Allah."

"Sampai hari ini, ujung qalam itu tetap terbelah dua dan tersumbat sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia Ilahi."

"Oleh karena itu, jangan ada seorang pun gagal dalam memuliakan dan menghormati nabinya atau menjadi lalai dalam meneladaninya. Selanjutnya, Allah memerintahkan qalam untuk menulis."

"Qalam bertanya, Apa yang harus saya tulis, ya Allah? Dijawab oleh Allah, Tulislah semua yang akan terjadi sampai hari pengadilan. Qalam pun kembali bertanya tentang apa yang harus ia mulia tuliskan. Allah menegaskan, agar qalam memulai dengan kata-kata, Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim."

"Dengan rasa hormat dan takut yang sempurna, kemudian qalam bersiap menulis kata-kata itu pada Lauh Al-Mahfudz dan menyelesaikan tulisan itu dalam kurun waktu 700 tahun. Saat qalam telah menulis kata itu, Allah menyatakan bahwa qalam telah menghabiskan 700 tahun menulis tiga nama-Nya."

Ketiga nama itu adalah nama keagungan-Nya, kasih sayang-Nya, dan empati-Nya. Tiga kata-kata yang penuh barakah ini dibuat sebagai hadiah bagi umat kekasih-Nya, yaitu Muhammad. Di samping ayat dan hadis tersebut di atas juga masih ada nasihat atau perkataan yang menarik untuk dikaji bersama.

Antara lain, ungkapan yang disampaikan Al-Khallaj sebagai berikut, "Maha Suci (dzat) yang nasut-Nya telah melahirkan rahasia cahaya lahut-Nya yang cemerlang; kemudian ia kelihatan bagi makhluk-Nya secara nyata dan dalam bentuk (manusia) yang makan dan minum."

Mungkin inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad memiliki berbagai keutamaan, seperti satu-satunya yang bisa mengakses langsung Sidrah Al-Muntaha, maqam paling puncak, diberi Lailah Al-Qadr, diberi hak memberi syafaat di hari kiamat, umatnya paling pertama dihisab, paling pertama masuk surga, dan paling berhasil misinya.

Dalam kitab Fushush Al-Hikam karya Ibnu Arabi, dibahas lebih mendalam hakikat Nur Muhammad (Haqiqah Al-Muhammadiyyah). Yang menarik di dalam pembahasan itu, kita semua umat manusia mempunyai unsur-unsur kemuhammadan (Muhammadiyyah) seperti halnya di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur keadaman (Adamiyyah).

Muhammadiyyah, Adamiyyah, dan sejumlah manusia suci lainnya, ternyata bermakna fisik dan simbolis, atau makna esoteris di samping eksoteris. Uraian tentang Nabi Muhammad, kemuhammadan, dan Nur Muhammad serta relasinya dengan kita sebagai sebagai makhluk mikrokosmos sangat menarik disimak.

Terlepas apakah nanti setuju atau tidak setuju keseluruhannya, itu wilayah otonomi intelektualitas kita masing-masing.Wallahua’lam.

Minggu, 11 Maret 2012

Mestikah Manusia Bertasawuf?

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq
Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik
Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat
(Imam Malik)

Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.

Pertanyaannya adalah mestikah manusia bertasawuf? Kalau itu mesti, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat?

Apa itu tasawuf?
Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.

Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.

Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.

Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?
Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.

Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.

Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.

Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.

Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.

Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.

Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.

Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?
Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.

Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.

Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.

Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.

Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.

Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.

Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.

Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.

Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.

Haruskan bertasawuf?

Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan.

Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.

Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.

Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.

MENGAPA KITA PERLU MURSYID ?

Mengapa Mursyid Diperlukan? (1)

Senin, 27 Pebruari 2012 14:54 WIB
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

"Barang siapa yang tidak mempunyai mursyid, setanlah yang akan menjadi gurunya." (Imam Malik).

"Jika seseorang berjalan tanpa mursyid, dia akan tersesat. Dia akan menghabiskan umurnya tanpa mencapai apa yang diharapkan." (Ibnu Athaillah).

Mursyid dalam literatur tasawuf berarti pembimbing spiritual bagi orang-orang yang menempuh jalan khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang menempuh jalan itu biasa disebut salik, dan jalan yang ditempuhnya disebut dengan thariqah.

Biasanya, mursyid dalam sebuah tarekat memiliki beberapa tingkatan, mulai dari mursyid utama (mursyid kamil) yang biasa juga disebut dengan syekh, sampai kepada mursyid pembantu, yang memiliki kewenangan terbatas dibandingkan kewenangan yang melekat pada mursyid utama.

Tugas dan fungsi mursyid

Tugas dan fungsi mursyid adalah membimbing, mendidik, dan menempa para salik yang juga disebut murid (orang-orang yang memiliki kesungguhan belajar mengenal Allah) dalam memahami jalan-jalan spiritual menuju Allah. Mursyid dengan tekun menuntun salik.

Langkah itu mulai dari proses pembersihan dan pencucian diri (tadzkiyah al-nafs) hingga di antara mereka mencapai pemahaman yang mendalam (ma’rifah) terhadap Al-Haq. Tugas dan fungsi mursyid di hadapan para salik menyerupai Rasulullah SAW di depan para sahabatnya.

Jika para sahabat dengan tekun dan penuh tawadhu di hadapan Rasulullah, para salik juga melakukan hal yang sama di hadapan mursyidnya. Mursyid pertama kali melakukan seleksi siapa yang bisa menjadi salik. Banyak cara dan metode ditempuh mursyid dalam menyeleksi calon salik.

Di Konya, Turki, calon salik yang akan bergabung dalam tarekat Jalaluddin Rumi dan selanjutnya menjalani latihan tarian sufi (Whirling Darwishes), diuji secara lisan di depan mursyid di maktab dalam bentuk balai-balai yang berjejer di dalam suatu kompleks.

Penentuan diterima atau ditolaknya seorang calon ditandai dengan arah sandal. Jika sandal calon salik menghadap pintu balai-balai, pertanda calon itu lulus. Sebaliknya, jika sandal membelakangi pintu, sang calon ditolak. Setelah resmi diterima, mursyid mulai melakukan bimbingan pembersihan diri pada para salik itu.

Hal tersebut dilakukan sebelum mursyid mengajarkan dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran spiritual. Ini dilakukan sebagaimana halnya Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebelum mengajarkan Alquran, terlebih dahulu dilakukan pembersihan dan penyucian jiwa, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, "Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 151).

Dalam ayat ini terungkap, sebelum dilakukan pengajaran (yu’allimukum) terlebih dahulu dilakukan penyucian diri (yuzakkikum). Dalam ayat lain juga ditegaskan, La yamassuhu illa al-thahharun. Maknanya, tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (QS. Al-Waqi’ah: 79).

Kesucian jiwa dan keluhuran pikiran tergambar dari kelembutan dan ketawaduan komunitas tasawuf dan tarekat, apalagi dari para salik kepada mursyid atau syekhnya.

Keadaan ini tergambar dari pernyataan Ali bin Abi Thalib, "Man ‘allamani harfan kuntu lahu ‘abdan. (Barang siapa mengajariku satu huruf, aku rela menjadi budaknya)."

Bahkan dikatakan, mursyid di tengah para muridnya bagaikan Nabi di tengah para sahabatnya. Dan salik yang belum menunaikan hak-hak mursyid, maka belum menunaikan hak-hak Allah. Itulah sebabnya, kitab tipis Al-Ta’lim al-Muta’allim yang mengajarkan etika pembelajaran, masih menjadi pelajaran wajib di pesantren.

Kriteria mursyid

Menjadi mursyid tentu lebih berat ketimbang menjadi salik. Selain sifat-sifat standar sebagai seorang shalihin/shalihat seperti alim, amanah, tawadu, terpercaya, wara', sabar, teladan dalam pengamalan syariat, dan tentunya berakhlak mulia. Posisi dan kedudukan mursyid juga terkadang ditentukan sistem dan organisasi setiap tarekat.

Tarekat yang dikenal secara umum (mu’tabarah) biasanya memberikan kriteria mursyid dengan sangat ketat. Berbeda dengan tarekat yang tidak populer (ghair mu’tabarah) biasanya lebih longgar. Secara khusus, seorang mursyid selalu berusaha membersihkan niat dan meluruskan tujuan hidup salik.

Mursyid juga mengetahui kemampuan salik, mendidik tanpa pamrih, menyesuaikan ucapan dan tindakan, menyayangi orang lemah, menyucikan ucapan, berbicara dengan bijaksana, selalu mengingat dan memuliakan Allah sewaktu berbicara, serta menjaga rahasia salik. Selain itu, mursyid pun mempunyai sikap memaafkan kesalahan salik, mengabaikan haknya sendiri, memberikan hak-hak salik, mampu membagi waktu untuk menyendiri atau berkhalwat dan beramal, serta selalu mengerjakan amal sunah dan amal-amal sosial.

Sejatinya, mursyid juga memiliki sifat-sifat lebih khusus seperti merasa fakir setelah kaya, merasa rendah setelah tinggi, merasa sepi setelah populer, memuliakan ilmu pengetahuan dan mengamalkannya, bersih jiwanya, dan lurus jalan pikirannya. Tentu saja, sifat-sifat tersebut sudah menjadi sifat-sifat alamiah para mursyid.

Jika mursyid menyimpang jauh dari kriteria, itu akan menimbulkan dampak luas di dalam masyarakat. Kriteria mursyid seperti di atas sesungguhnya juga dimiliki kalangan ulama, meski tak secara formal mereka menjadi mursyid. Bahkan, mungkin ada di antara mereka lebih layak menjadi atau disebut mursyid.

Para wali misalnya, banyak sekali yang tidak tergabung di dalam tarekat dan karenanya tidak disebut mursyid. Orang bisa disebut mursyid jika mempunyai salik. Seorang yang mumpuni tetapi tidak punya salik, tentu tidak mungkin disebut mursyid.

Kedudukan mursyid
Tidak sedikit pandangan kritis terhadap mursyid. Bahkan, ada yang menuduh mursyid sudah cenderung seperti Santo dalam agama Katolik yang memiliki kedudukan sakral dan difigurkan sebagai representasi Tuhan dalam menghadapi hambanya. Ada moto bahwa salik bagaikan mayat di depan mursyidnya.

Mursyid terlalu aktif dan dominan, tidak boleh dibantah; dan para salik harus menerima tanpa pamrih apa pun petunjuk dan perintah mursyid. Seolah-olah mursyid mematikan kreativitas salik. Apalagi sekarang, tidak sedikit orang mengaku atau dipersepsikan mursyid, tetapi sesungguhnya motifnya adalah hal bersifat duniawi.

Mursyid dan tarekat seperti inilah yang sering mencoreng keluhuran tujuan tasawuf dan tarekat. Namun, pandangan kritis berlebihan dalam menilai mursyid juga perlu dikritisi. Pada umumnya, mursyid yang sejati tidak pernah mau disebut sebagai mursyid, bahkan tidak sadar kalau dirinya dianggap mursyid.

Mursyid pada umumnya memiliki tujuan suci, yaitu ingin menyelamatkan para salik dalam menapaki jalan-jalan yang tidak umum. Banyak ulama besar yang tadinya menolak tasawuf dan kedudukan mursyid, tetapi belakangan berubah secara totak. Mereka menjadi pengamal tasawuf dan mursyid.

Di antara mereka adalah Ibnu Athaillah As-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzudin Ibnu Abdis Salam, Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Mereka sadar, jalan memperoleh makrifat tak bisa ditempuh hanya mengandalkan pengetahuan akal rasional yang cuma akan meraih ‘ilmul yaqin, belum sampai tahap haqqul yaqin.

Akhirnya, mereka pun menyadari, tanpa mursyid sulit untuk sampai kepada Allah (wushul). Dalam dunia kosmologi tasawuf, para salik yang berjalan tanpa bimbingan rohani mursyid, tidak akan atau sulit untuk membedakan mana bisikan-bisikan lembut (hawathif) yang datang dari Allah melalui malaikat atau dari setan atau jin.

Dari sinilah muncul sebuah adagium "Barangsiapa menempuh jalan khusus menuju Allah tanpa mursyid, mursyidnya adalah setan”. Menanggapi kecenderungan semakin maraknya pertumbuhan ajaran tasawuf dan tarekat di dalam masyarakat akhir-akhir ini, umat diimbau betul-betul teliti memilih tasawuf atau tarekat.

Jangan terlalu gampang terkecoh oleh promosi sebuah lembaga, atau terlalu cepat percaya pada kehadiran seorang mursyid. Mursyid yang sejati bukan orang yang mampu menebak rahasia pribadi, namun nasihatnya mengalir di dalam diri. Mursyid bukan pula orang yang mampu menuntun hanya dengan ucapan, tetapi juga mestinya mampu mengalirkan fibrasi dan energi spiritual di dalam diri kita.

Rabu, 22 Februari 2012

Menghilangkan “Aku”, Menghadirkan Allah

Muhammad Bagir, MA. – Dosen Filsafat, Islamic College for Advanced Studies (ICAS)
Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme). Ketuhanan baru berarti, jika mampu menyelesaikan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan. Sampai-sampai sekularisme mensyaratkan “hilangnya Tuhan” demi kemajuan dunia.

Kita tentu bertanya, bagaimana bisa ciptaan terbebas dari pencipta? Bisa kata Newton, sebab alam seperti jam yang memiliki mesin sendiri. Jadi, setelah Tuhan mencipta “jam” itu, maka Dia dianggap nganggur. Manusia dengan akalnya telah mampu melihat dan bahkan menguasai mesin (hukum alam) yang membuat jam berdetak. Maka dimana lagi tersedia ruang bagi Tuhan?

Adalah Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang menjadi salah satu garda depan, dari pihak yang mengritik paradigma ini. Melalui filsafat perenial, sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf, ia mencoba mengklarifikasi salah paham akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir, dari intelek (akal batin), kepada reason (rasio). Baginya, pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi tuhan-tuhan kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat samsara (kesengsaraan), akibat kedunguan spiritualitas, dan arogansi egoisme. Meminjam Lukacs, manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness : hilangnya hubungan harmonis dan keterkaitan batiniyah dengan dunia. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru ketika berbagai alat kemanusiaan telah dikuasai. Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan dosen kelahiran Singapura dan lulusan Universitas Qum Teheran tersebut.

Menurut Mas Bagir, bagaimana tasawuf bisa menjelaskan, bahwa ketika berada di jalan Tuhan, maka kita bisa menyelesaikan masalah dunia (kemanusiaan)?
Kita lihat dalam Kristen dulu ya. Dalam Kristen, the word (kalimat) itu mendaging, meat, flesh. Antropomorfisme. Maknanya, Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia. Dia mau menunjukkan, bahwa Aku dalam form manusia bisa menyelamatkan kalian dari kesengsaraan. Tuhan berkata, bahwa ketika manusia terhubung dengan Aku, mereka bisa selamat, salvation. Sementara dalam Islam kan teo-morfisme, bukan antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia melangit. Jadi teo-morfisme merupakan tajalli Tuhan. Perbedaannya ada tapi tidak mencari mana yang benar mana yang salah. Disini manusia jadi tajalli-nya Tuhan. Berarti manusia jadi refleksi. Dan ketika manusia menjadi tajalli Tuhan, dirinya sendiri sudah tidak ada lagi. Jadi dalam Islam, manusia bisa menghilangkan individualisme untuk mencapai pada the divine (ketuhanan).

Apa kaitannya dengan individualisme?
Semua suffering, masalah dunia di hidup kita kan karena individualitas kita. Karena kita mengakui “aku”, dalam Buddhism kan gitu juga. Kalau aku-nya hilang, ya nggak akan ada masalah. Misalnya kalau kita bawa dalam preposisi: ada subjek ada predikat. Predikat bisa gembira, sedih, aku sedih, aku gembira, aku stress. Coba kalau subjek (aku) -nya hilang, nggak ada apa-apa lagi kan? Kita boleh saja sedih, sakit, tetapi karena “aku” tak ada, maka tak ada yang merasakan segala kesakitan itu.

Nah disini bedanya ilmu akhlak dan metafisik. Misalnya, akhlak takabur. Dalam ilmu akhlak dijelaskan, definisi takabur itu apa, efek yang akan merusak jiwa kita gimana? Jadi kita harus gantikan pada predikat yang positif. Disini ilmu akhlak lebih konsentrasi pada predikat. Tapi selagi ada subjek, tetap ada predikat kan? Sementara irfan dan tasawuf konsentrasi pada subjek. Hilangkan subjek dong. Ketika subjek hilang, Subjek dengan “S” besar muncul. Aku (Ana) yang besar, maka predikat-predikatnya muncul kan, Asmaul husna. Itu namanya tajalli. Dengan cara itu manusia selamat dari segala kesengsaraan dalam kehidupan individualisnya.

Bagaimana cara untuk menghilangkan “aku”?
Harus ada ilmu. Ilmu yang selama ini kita pelajari ada dua macam. Ada accumulatif knowledge, ada yang annihilatif knowledge. Accumulatif itu kan akumulasi. Kita semakin banyak mencari ilmu. Ketika terjadi akumulasi, maka harus ada subjek, dan subjek ini mengakumulasi knowledge. Aku ‘alim, aku mengetahui, aku lebih pintar. Tetapi annihilation, nihilasi (fana’), ilmu yang menghilangkan subjek. Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Ketika dia terbatas, pasti ada yang lain. Jadi konsep tauhid juga berkata seperti itu. Tidak ada realitas, selain Dia menghilang semuanya. Kalau hilang subjek ya sudah. Kita akan melihat seluruh alam ini dengan kaca mata Dia, bukan kaca mata individualis lagi. Jadi kalau ada masalah, kita kan sering lari darinya, dan masuk masalah lain. Yang harus kita lakukan seharusnya beyond, melampaui. Apa yang bisa bawa kita keluar dari masalah.

Karena masyarakat modern kan, kalau ingin menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ekonomi, politik dengan politik, dsb. Nah kalau pendekatan spiritual, misalnya kalau kita menghadapi masalah politik, yang kita lakukan adalah “penghancuran kedalam” ya?
Ya, karena kalau sudah hancur aku-nya, yang muncul kan tajalli-nya Allah. Contoh, Banyak teman-teman yang tanya sama saya, “Saya takut mau suluk”. Kenapa? “Kalau saya suluk, mungkin saya akan tinggalkan dunia ini”. Seorang istri akan bimbang kalau suaminya tinggalkan dia, tidak perdulikan nafkah, anak-anak.

Seolah-olah Tuhan itu di barat, dan dunia di timur ya. Kalau ke barat ya harus ninggalin timur?
Makanya saya terus bilang, “Bu, kalau orang suluk, dia akan hilang egonya, individualnya, ananiyah-nya. Yang akan tajalli itu Tuhan. Ketika Tuhan tajalli, Tuhan al-’alim, Tuhan al-raziq, Tuhan arrahman. Lalu ibu akan berinteraksi dengan siapa? Jadi suami ibu nggak ada, yang ada hanya Yang Pengasih dan Penyayang. Pasti dia al-raziq. Ketika dia kerja, kasih uang, dia sebagai al-raziq, bukan sebagai manusia yang memberi nafkah pada isteri. Nah banyak orang melupakan hal ini. Ketika manusia menyatu dengan Tuhan, orang pikir kalau kita mau suluk, kita akan tinggalkan semuanya. Padahal dalam al-Qur’an Allah itu kan wahuwa ma’akum, Dia bersama dengan kalian, ainamaa kuntum, dimana saja kalian berada. Jadi kalau kita menjadi manifestasi Tuhan, kita bukan hanya dengan keluarga, kita bersama dengan semua manusia, pohon, alam, dsb. Contoh. Nabi Muhammad saw. sampai sekarang hadir bersama kita. Nabi Muhammad saw. bukan keberadaan temporal. Sampai sekarang ia bersama kita. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi. Jadi bukan terputus dari kehidupan, justru semakin terkait dengan kehidupan.

Iman, Islam dan Ihsan

Pada saat Malaikat Jibril bertanya tentang konsep Iman, Islam dan Ihsan, Rasulullah SAW menjawab :”Bahwa Iman ialah hendaklah Engkau mengimankan Allah, Malaikat Allah, Kitab kitab Allah, para Uusan Allah, Hari Qiyamat, dan mengimankan Taqdir, baik dan buruknya adalah ketentuan Allah. Islam ialah hendaklah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan nabi Muhammad adalah UtusaNYA, mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, berpuasa Ramadhan, dan berangkat Haji bila telah mampu. Sedangkan Ihsan yaitu hendaklah engkau beribadah kepada Allah seperti engkau melihatNYA, apabila tidak bias demikian ,maka sesungguhnya Allah melihat engkau”.

Melihat makna Hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari diatas, Iman berarti kepercayaan hati dibarengi dengan membenarkan segala apa yang disampaikan Rasulullah. Islam berarti kepatuhan dan penyeragan lahiriyah dengan mengucapkan kalimat syahadat. Dan Ihsan berarti, kejernihan dan keihlasan hati beribadah karena Allah dengan sungguh sungguh. Antara ketiga kekuatan itu saling kerja sama dan saling membutuhkan dalam mencapai puncak kerelaan Allah.

Iman sebagai landasan Islam dan Ihsan, Islam sebagai bentuk manifestasi Iman dan Ihsan, sedangkan Ihsan mengusahakan agar keimanan dan keislaman yang sempurna. Secara lahiriyah orang tidak dapat dikatakan Islam manakala tidak mengucapkan syahadat, ibadah shalat, zakat berpuasa ramadhan, dan menunaikan haji yang merupakan pelaksanaan Ihsan secara lahiriyah, atau kesempurnaan Islam itu sama sekali tidak berarti, jika tidak dilandasi Iman ( Tashdiq ) dan Islam ( membaca syahadat ). Ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan lain lain akan menjadi berarti manakala ada Iman dan Islam, karena syarat Ihsan secara lahiriyah harus dengan Iman dan Islam, meskipun sahnya Iman dan Islam itu tidak harus dengan Ihsan.

Memang Iman dan Islam itu otonom jika dilihat dari keabsahanya, karena Iman dan Islam sudah merupakan jaminan keselamatan dunia dan ahirat. Iman yang benar dapat menyelamatkan dari keabadian siksa Neraka, sedangkan Islam dapat menjaga hak hidup lahiriyah yang berhubungan dengan agama dan Mu’amalah, Munakahat, Waris mewaris dan lain sebagainya. Tetapi kemungkinan Iman dan Islam itu akan menjadi kering kerontang, bahkan musnah sama sekali dari lubuk hati, manakala tidak mengakui atas segala dosa dosa yang telah dilakukanya, karena suatu dosa lambat laun akan menyeret pelakunya pada kekufuran, jika tidak lekas di taubati. Oleh sebab itu sebagai Mukmin yang baik disamping beriman dan berislam, hendaklah melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan Allah SWT, secara sadar, agar memperoleh Ihsan yang sebenarnya.

Ushuliddin, Fiqih Dan Tashawuf

Itulah sebabnya, Ulama’-ulama’ pakar Alussunah menerangkan bahwa Iman, Islam dan Ihsan itu terdapat tiga pandangan, Uhuliddin, Fiqih Dan Tashowuf. Dari ketiga itu kemudian muncul istilah Ushulul Fiqh, Fiqhul Ushul, Ushulul Ushul, Tasawuful Ushul, Ushulut Tasawuf, Fiqhut Tasawuf, dan sebagainya.

1. Menurut ilmu Ushuliddin, Iman ialah kepercayaan membenarkan dalam hati kepada segala apa yang disampaikan Rosululloh, berupa hukum perintah, larangan, berita dan janji yang termaktub dalam Al Qur’an dan Al Hadits Shohih. Terwujudnya iman dalam hati itu sudah barang tentu tidak mengabaikan syarat dan rukun-rukun yang menjadikan sebab kebenaran iman itu dengan menjaga dari segala keyakinan yang merusak iman.

Menurut ilmu Ushuliddin Islam ialah kepatuhan penyerahan mengucapkan dua kalimah Syahadad serta mengetahui, mengimani dan membenarkan makna dua kalinah Syahadad. Yakni bahwa tiada Tuhan yang patut disenbah kecuali Alloh dan Nabi Muhammad itu utusan Alloh.

2. Menurut ilmu Fiqih, Iman ialah kepercayaan membenarkan dalam hatikepada segala apa yang dating dari Rosulullohsebagai landasan amal ibadah kepada Alloh, karena amal ibadah yang tidak berlandaskan iman mustahil akan menjadi sah. Sedangkan Islam menurut ilmu Fiqih adalah pekerjaan ibadah seperti Sholat, Zakat, Puasa, Haji dan lain-lain dengan memenuhi syarat dan rukun serta menjaga dari segala hal yang membatalkannya. Jadi Islam sebagai manifestasi iman yang kemudian Islam menjadi syarat keabsahan ibadah dalam fiqih.

3. Menurut ilmu Tasawuf, iman merupakan landasan pokok diterimanya ibadahkemudian Alloh memberikan pahala dengan ibadah yang dikerjakan. Dan Islam menurut Tasawuf ialah ibadah yang benar itu dapat lantaran tercapainya Ihsan yang menyebabkan ibadah tersebut memperoleh pahala. Dalam kata lain, Ihsan dapat dicapai kalau memang amal ibadah (Islam) nya itu benar dan tentunya berdasarkan iman yang benar juga.

4. Dan Ihsan menurut ilmu Fiqih ialah perilaku ibadah secara lahir. Orang beribadah secara lahiriyah bias dikatakan Ihsan (kebagusan). Namun ilmu Tasawuf menggariskan ibadah Ihsan itu ialah iabadah yang disertai dengan adab dan sopan santun menurut agama. Adab atau sopan santun didalam ibadah ialah melaksanakan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) dan menjauhi sifat-sifat tercela (mazmumah) sifat-sifat terpuji dalam ibadah ialah adanya perilaku suhud, qona’ah, sabar, tawakkal, mujahadah, ridlo, syukur dan ihlas, khouf, mahabbah, ma;rifat kemudian khusu’. Adapun sifat-sifat tercela dalam ibadah ialah, hubbuddunia, thama’, ithbaul hawa (mengikuti hawa nafsu) ‘ujub, riya, takabbur, hasud, dan sum’ah kemudian tidak khusu’.

Walhasil bahwa sesungguhnya Iman itu berarti Aqidah, Islam berarti Syari’ah dan Ihsan berarti Ahlaqul karimah. Bab iman masuk kedalam Ushuliddin, Islam masuk kedalam Fiqih dan Ihsan masuk kedalam bab Tasawuf. Ketiganya ; Iman, Islam dan Ihsan dalam pengamalan adalah satu kesatuan yang dirumuskan menjadi tiga perkara : Syari’ah, Thoriqoh, Haqiqoh kemudian menghasilkan Ma’rifatulloh (berfikir tentang ciptaan Alloh)

Syari’at, Thoriqot, Haqiqot

adalah dari tiga kesatuan terpenting, uaitu Iman, Islam, dan Ihsan, kemudian Ulama’ Ahlussunah merumuskan menjadi tiga perkara, ketiganya itu merupakan kesatuan yang tidak bias dipisahkan, yaitu Syari’at, Thariqat, dan Hakikat. Ketiganya selalu berhubungan dengan masalah Ibadah dan Mu’amalah, berikut gambaranya :

1. Syari’at Ibadah. Syari’at orang yang beribadah ialah melengkapi segala syarat dan rukunya, melakukan kewajiban dan meninggalkan maksiat, yakni didalamnya mencakup Iman dan Islam, karena syarat sah dan syarat wajib dalam ibadah haruslah berlandaskan Iman dan Islam. Syari’at Mu’amalah adalah, pertatian dan perdagangan hendaknya mentaati segala undang undang agama yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasul yang telah dirumuskan sedemikian rupa oleh para Ulama’ Mujtahid dalam ilmu Fiqih.

2. Thariqat ibadah. Thariqat orang beribadah ialah bertujuan karena Allah semata, tidak karena yang lain. Sebab hanya Allah lah yang dapat menerima atau menolak segala amal ibadah manusia. Dan Thariqat Mu’amalah ialah hasil keuntungan dari pertanian dan perdaganganya, dimanfaatkan untuk mencari Ridla Allah semata, walaupun dari hasil yang mubah, akan tetapi jika di niati untuk berbakti kepada Allah, semisal untuk menafkahi keluarga, biaya pendidikan, dan beramal kebaikan yang lain, niscaya tidak akan sia sia.

3. Hakikat Ibadah. Hakukat prang beribadah ialah, memandang bahwa kemampuan dirinya dan tersedianya segala sarana yang melengkapi ibadahnya itu secara hakikatnya dari kemurahan Allah. Tanpa kekuasaan dan kehendak Allah, tidak mungkin manusi dapat melakukan Ibadah. Sedangkan Hakikat Mu’amalah yaitu memandang bahwa keberhasilan dalam Usaha pertanian ataupun perdaganganya adalah atas Inayah dan AnugerahNYA semata. Manusia tidak ada hak wewenang memastikan keberhasilan sesuatu yang dikerjakan, dan tidak berhak pula mengakui keberhasilanya disebabkan karena usahanya belaka. Ibadah dan Mu’amalah, lewat tiga rumusan diatas akan melahirkan Ma’rifatullah.

Demikian K.H. Ahmad Rifai menyatakan dalam Tahyirah Muhtashar, Abyanal Hawa’ij, Ashnal MIqashad, dan Ri’ayatul Himmah.

Ihsan, Tasawuf, dan Psikoterapi

PROF.DR. Nurcholis Madjid

Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlaq mulia kita melihat hubungan ihsan dengan ajaran kesufian atau tasawuf. Menurut K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, dengan mengutip Kitab Futuhat al-Ilahiyyah, ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan menjalankan thariqat:

Qashd shahih, artinya, dalam menjalani thariqat itu ia harus mempunyai tujuan yang benar, yaitu niat menjalaninya sebagai ubudiyyah, yakni penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Benar (al-Haqq), dan berniat memenuhi haqq al-rubbiyyah, yakni hak Ketuhanan Allah Ta’ala, bukan untuk meraih keramat atau pangkat, juga bukan untuk memperoleh hasil yang bersifat nafsu seperti ingin dipuji orang lain dan seterusnya;

Shidq sharif, artinya kejujuran yang tegas, yaitu bahwa murid harus membenarkan dan memandang gurunya sebagai memiliki rahasia keistimewaan (sir al-khushushiyyah) yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi atau hadlrat al-Ilahiyyah;

Adab mardliyyah, artinya, tatakrama yang diridhai, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat harus menjalankan tatakrama yang dibenarkan ajaran agama, seperti sikap kasih sayang kepada orang yang lebih rendah, menghormati orang lain sesamanya dan yang lebih tinggi, sikap jujur, adil dan lurus terhadap diri sendiri, dan tidak memberi pertolongan kepada orang lain hanya karena kepentingan diri sendiri;

Ahwal zakiyyah artinya, tingkah laku yang bersih, yaitu bahwa orang masuk thariqat tersebut tingkah lakunya dan ucapan-ucapannya harus sejalan dengan syari’at Nabi Muhammad Saw.;
Hifz al-hurmah, artinya, menjaga kehormatan, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat harus menghormati gurunya, hadir atau gaib, hidup atau pun mati, dan menghormati sesama saudara pemeluk Islam, tabah atas sikap-sikap permusuhan saudara, dengan menghormati orang yang lebih tinggi dan cinta kasih kepada orang yang lebih rendah;

Husn al-khidmah, artinya, orang yang masuk thariqat harus mempertinggi mutu pelayanannya kepada guru, pada sesama saudara pemeluk Islam, dan kepada Allah Swt. Dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya al-shiddiq-un dan itulah al-maqshud al-a’dzham (tujuan agung)mengikuti thariqat;

Raf’ al-himmah, artinya, mempertinggi mutu tekad hati, yaitu bahwa orang masuk thariqat tidak karena tujuan-tujuan dunia dan akhirat tapi karena hendak mencapai ma’rifat khashshah (ma’rifat atau pengetahuan khusus atau istimewa) tentang Allah Swt.;

Nufudz al-’azimah, artinya, kelestarian tekad dan tujuan, yaitu bahwa orang yang masuk thariqat harus menjaga kelestarian tekad dan tujuannya, memelihara kelanjutan menjalankan thariqatnya, demi meraih ma’rifat khashshah tentang Allah Ta’ala, dan bila melakukan kebajikan maka ia melakukannya dengan lestari sehingga berhasil (Lihat, Muhammad Hasyim Asy’ari, al-Durrar al-Muntatshirah fi al-Masa’il al-Tis’ al’Asyarah, tanpa tempat penerbitan, 1359 H/1940 M, hal. 16-17).

KH. Hasyim Asy’ari juga menegaskan bahwa tujuan menjalankan ialah mempertinggi tatakrama, adab atau akhlaq.Ia mengutip sebuah syair dari Kitab Al-Mabahits al-Ashliyyah, demikian:

“Tujuan thariqat ialah pendidikan tatakrama, dalam segala tingkah laku, dan itulah madzhabnya.”

Dengan mengutip Abu al-Hasan al-Syadzili, KH. Hasyim Asy’ari mengetengahkan empat tatakrama yang seseorang tidak dapat disebut pengikut thariqat jika tidak menjalaninya, betapapun luasnya pengetahuan orang tersebut. Empat tatakrama atau akhlaq itu ialah:
Menjauhi semua orang yang bertindak dzalim, seperti penguasa atau orang kaya yang berlaku tidak adil pada orang lain;

Menghormati orang yang memusatkan perhatiannya pada akhirat;
Menolong kaum melarat;
Selalu melakukan shalat berjama’ah dengan orang banyak Kata K.H. Hasyim Asy’ari selanjutnya, “Telah berkata Imam Muhy al-Din Ibn al’Arabi, ra. Adapun empat akhlak itu, maka siapa saja yang menjalankan keempat-empatnya, ia sungguh telah menggabungkan semua kebajikan, yaitu:

Ta’zhim hurumat al-muslimin, artinya, menjunjung kehormatan semua orang Islam;
Khidmat al-fuqara wa al-masakin, artinya, melayani kaum fakir-miskin;
Wal-inshaf min nafsihi, artinya, jujur dan adil mengenai diri sendiri;
Tark al-intishar la-ha, artinya, tidak memberi pertolongan hanya semata karena kepentingan diri sendiri.”

Selanjutnya, KH. Hasyim Asy’ari, dengan mengutip Suhrawardi, menjelaskan bahwa jalan kaum sufi ialah niat untuk membersihkan jiwa dan menjaga hawa nafsu, serta untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk ‘ujub, takabbur, riya’ dan hubb al-dunya (kagum pada diri sendiri, sombong, suka pamrih, dan cinta kehidupan duniawi), dan lain sebagainya, serta menjalani budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti ikhlas, rendah hati (tawadldlu), tawakkal (bersandar dan percaya kepada Tuhan), selalu memberikan perkenan hati pada setiap kejadian dan terhadap orang lain (ridla), dan seterusnya, serta karena hendak memperoleh ma’rifat dari Allah dan tatakrama di hadapan Allah (ibid, hal. 18).
Kesufian merupakan cabang keagamaan dalam Islam yang sering tampak kontroversial. Beberapa tokohnya menjadi sasaran kritik, bahkan penyiksaan atau pembunuhan, disebabkan pendirian atau praktek mereka yang dianggap menyimpang dari agama yang benar.

Sekalipun KH. Hasyim Asy’ari, seperti terbukti dari keterangan di atas demikian menghargai tasawuf dan kaum sufi, namun beliau dikenal sangat keras terhadap setiap gejala penyimpangan dalam amalan thariqat. Sikap ini ia ungkapkan dalam risalahnya yang ia tulis pada tahun 1360 H. Al-Tibyanfi al-Nahy ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Percetakan Nahdlatul Ulama, tt.).

Jadi ihsan yang diwujudkan secara nyata dalam tasawuf, kemudian yang dipraktekkan melalui ajaran thariqat, pada analisa terakhir adalah sebuah wawasan tentang kebulatan, kebenaran, atau kebenaran dalam dimensinya yang utuh. Kemampuan menangkap kebenaran yang utuh itulah tingkat yang paling sulit dicapai oleh manusia, bahkan juga yang paling sulit dipahami. Sebabnya ialah, kebenaran dalam dimensinya yang utuh, justru dalam dirinya mengandung paradoks, dan orang dapat belajar menangkap keutuhan kebenaran itu jika ia terlatih melihat paradoks-paradoks dan berusaha menangkap apa hakikat yang ada di balik penampakkan lahiriahnya itu.

Pembahasan tentang kebenaran yang utuh dalam wujud yang paradoksal itu biasanya dilakukan dengan merujuk pada kisah dalam Kitab Suci tentang Nabi Musa as., dengan seorang yang dilukiskan sebagai seorang hamba Allah yang memperoleh ‘ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Tokoh ini dalam literatur kesufian biasa diidentifikasi sebagai Nabi Khidlir (al-Khidlr), yang agaknya merupakan nama perlambang akan kebenaran yang selalu hijau agar dan tidak pernah mati (khidlr artinya hijau).

Dalam kisah itu dituturkan bagaimana seorang Nabi yang hebat seperti Musa tidak tahan, dan memprotes keras sekali-kali melihat tingkah laku orang tua yang bijak dan menjadi gurunya itu, seperti tindaknya merusak perahu milik seorang nelayan miskin, membunuh bocah yang sedang asyik bermain dan menegakkan tembok rumah yang hampir roboh di sebuah desa yang penduduknya bersikap tidak ramah pada mereka berdua. Dan barulah Musa as, paham akan tingkah laku aneh gurunya itu ketika ia memperoleh keterangan saat mereka hendak berpisah: guru itu merusak perahu nelayan miskin, ialah justru untuk menyelamatkan miliknya yang berharga itu dari bahaya perampok yang memilih perahu-perahu –yang nampak baik dan utuh; ia bunuh bocah itu karena ia tahu dari Allah bahwa anak itu akan tumbuh menjadi penjahat dan membuat sengsara orang tuanya, padahal orang tuanya adalah lelaki-perempuan yang saleh, dan ia juga tahu Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih suci; ia tegakkan tembok rumah yang hendak roboh itu, karena di dalamnya terdapat harta anak yatim yang kini tinggal di kota dan ia bermaksud melindungi harta itu sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak yatim tersebut dan selamat dari gangguan pencurian penduduk desa yang akhlaqnya rendah itu.

Penampilan paradoksal tokoh-tokoh kesufian sudah cukup terkenal. Bahkan dalam anggapan yang sangat umum, keanehan sering justru dianggap sebagai bagian dari kualitas tokoh tersebut sebagai “orang suci” atau kekasih Allah (wali). Namun justru disini letak masalahnya yang paling pelik, yaitu, menurut para filsuf kesufian sendiri, tidak ada seorang wali yang mengaku sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh agar disebut sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh agar disebut sebagai seorang wali. Juga tak ada yang tahu bahwa seseorang itu wali kecuali seorang wali sendiri. Seperti dikatakan oleh penulis kitab Nata’ij al-Afkar sebagaimana dikutip ole KH. Hasyim Asyari: Seorang wali tidak akan membuka pintu ketenaran dan pengakuan, bahkan kalau seandainya ia mampu mengubur dirinya tentu ia akan lakukan hal itu. Maka siapa saja yang menginginkan dirinya menonjol, tidaklah dia termasuk golongan thariqat sedikit pun juga, malah sebaliknya, dia berlawanan dengan tingkah laku mereka (golongan thariqat). (Muhammad Hasyim Asy’ari, Al-Durar antara lain Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’ al-’Asyarah,” dalam op cit, hal. 8-9)

Pandangan tentang keutuhan kebenaran yang mengandung paradoks ini juga dicerminkan dalam keterangan tentang sifat atau sikap Allah sendiri, seperti misalnya, bahwa Dia adalah Awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, dan bahwa Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, tapi juga Maha Dahsyat azhab-Nya: “Beritahukan kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azabku adalah azab yang amat pedih.” (Q.S. al-Hijr 15:49-50).

Oleh karena Tuhan adalah Maha Esa (ahad; wahid), maka tidak mungkin Wujud-Nya terdiri dari dua bagian, pertama sebagai Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kedua sebagai yang azab-Nya amat pedih. Paradoks itu hanyalah suatu wujud nisbi, sedangkan wujud mutlaknya berada di balik paradoks itu, yang justru karena kemutlakannya maka manusia tidak akan mampu menangkapnya.
Manusia hanya harus melatih diri untuk melihat paradoks-paradoks, dan mencoba memperoleh cita rasa (menurut istilah al-Ghazali, dzawq) kebenaran yang utuh di balik paradoks-paradoks, tanpa mesti mengetahui hakikatnya yang mutlak dan tak mungkin diraih yang nisbi itu.

Dengan mengutip Risalah Qusyayriyyah dan syarahnya, KH. Hasyim Asy’ari bahwa tauhid mengenal tiga jenjang: pertama penilaian bahwa Allah satu adanya; kedua, pengetahuan (dengan ilmu dan teori) bahwa Allah itu satu adanya; dan ketiga, timbulnya cita rasa penglihatan pada Yang Maha Benar (al-Haqq).
Yang pertama, adalah tauhid kaum awam; yang kedua, tauhid para ulama kaum eksoteris (ahl al-zhahir); dan yang ketiga, adalah tauhid kaum sufi yang telah mencapai ma’rifat dan yang memiliki pengalaman tentang hakikat. (Hasyim Asy’ari, “Al-Durrar,” dalam op. cit., hal. 10-11).
Hukum paradoks yang oleh kaum sufi dicoba dihayati secara intens itu adalah sesungguhnya hukum atau Sunnah Allah (Sunnatullah) juga, seperti disebutkan dalam firman Allah: “Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan wujud berpasangan (yakni, terdiri dari dua bagian yang paradoksal), agar kamu renungkan.” (Q.S. al-Dzariyat 51:49).

“Maha Suci Dia yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan; dari segala sesuatu yang ditumbuhkan bumi, dari diri mereka (manusia) sendiri, dan dari hal-hal lain yang tidak kamu ketahui (yakni, tidak dapat kamu pahami).” (Q.S. Yasin 36:36)

Sebuah hadits menyebutkan tentang adanya sabda Nabi Saw. “Berakhlaq lah kamu dengan akhlaq Allah.” Berkenaan dengan masalah hukum paradoksal ini, sabda Nabi itu tentunya juga dimaksudkan antara lain agar kita mempunyai sikap menghayati melalui cita rasa, akan kebenaran yang utuh, yang mungkin terdiri dari paradoks-paradoks, dengan mencoba menerima hikmah yang ada di belakang, seperti (seharusnya) sikap Nabi Musa terhadap tingkah laku gurunya, al-Khidlr.

Dengan menerima kenyataan-kenyataun paradoksal sambil meyakini adanya hikmah di balik penampakan lahiriahnya, seseorang akan mengalami ketenteraman, atau gejolak untuk “memberontak” akibat sikap menolak paradoks-paradoks dapat ditekan. Ini dapat mempunyai dampak penyembuhan den penyehatan jiwa, seperti saat sekarang mulai banyak digunakan dalam teknik-teknik penyembuhan psikoterapis.

Dikatakan oleh Prof. Muhammad Shaalan, Guru Besar den ketua Departemen Neuro-pschiciatry Universitas Al-Azhar, Kairo, yang melihat kaitan pengalaman kesufian dengan psikologi modern aliran C.G. Jung: “The use paradox is not explicitly described as a technique in Jungian therapy, but the basis of it is there. Recently it has been given a name and clarified as technique. Paradoxes serve to bring out a person from complacency of accepting either I or concepts so that a different and higher state of consciousness is attained immediately. With the sufi, the use of paradox is not restricted to technique but is a genuine expression of his state of consciousness. By example and action rather than by preaching and teaching, a sufi conveys directly to the intuition of his follower the paradoxical nature of truth (Prof. Dr. Muhammad Shaalan, “Some Parallel between Sufi Practices and the path of individucation”, dalam J. Marvin Spiegelman, Ph.D., et al., ed., Sufism, Islam and Jungian Psychology (Scottsdale, Arizona: Falcon Press, 1991), hal. 88.

Penggunaan paradoks tidak dengan jelas digambarkan sebagai suatu teknik “penyembuhan” dalam terapi care Jung, tetapi dasarnya ada di sana. Baru-baru ini paradoks itu telah diberi sebuah nama dan dijelaskan sebagai teknik. Paradoks berguna untuk melepaskan seseorang dari rasa puas diri dalam menerima konsep-konsep yang bersifat ya atau tidak, sehingga tingkat kesadaran yang berbeda den lebih tinggi dapat segera dicapai.

Dengan seorang Sufi, penggunaan paradoks tidak dibatasi hanya sebagai teknik tetapi merupakan suatu ekspresi sejati tingkat kesadaran Sufi itu. Melalui percontohan dan tindakan, dan bukannya melalui wejangan dan pengajaran, seorang sufi secara langsung menyajikan intuisi pengikutnya (sifat paradoksal dari kebenaran). Sebuah ayat menegaskan bahwa kita harus bersifat adil sekaligus melakukan ihsan yaitu firman Allah: “Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan.” (QS. al-Nahl 16:90)

Dari berbagai kemungkinan tafsir atas firman itu, melakukan keadilan terhadap segala suatu ialah memahaminya dalam kerangka pandangan yang berkeseimbangan (‘adl sendiri artinya seimbang) antara bagian-bagian yang nampak paradoksal, tanpa berat sebelah, dan dengan sikap menerima menurut apa adanya. Kemudian ihsan dapat diartikan sebagai usaha penuh ketulusan untuk mengapresiasikan segi hikmah di balik paradoks-paradoks.

Maka sikap tulus dan pasrah, yaitu Islam, tidak mungkin tanpa sikap percaya pada Allah, yaitu iman, yang menghasilkan pandangan positif-optimis pada-Nya dan ciptaan-Nya. Dari sini juga nampak dengan jelas bahwa Islam akan membawa kita pada kedamaian (salam) dan keselamatan (salamah), dan iman akan menghantarkan kita ke aman (rasa sentosa) dan rasa terlindung atau proteksi (amanah), kemudian, akhirnya ihsan tidak akan membingungkan kita menuju hidup yang bahagia (hasanah).

Sabtu, 21 Januari 2012

NADZOM IQOMAH RUKUN ISLAM

PUJI KAGUNGAN ALLAH
ROHMAT SALAM KA RASULULLAH
SOHABAT TUR KULAWARGI
PEJUANG AGAMA ALLAH

ISLAM AGAMA NU BENER
SEJAHTERA LUAS TUR DAMAI
RUKUNNA LIMA UTAMA
AMALKEUN MASING SAMPURNA

SYAHADAT TEH PONDASINA
SHOLAT TEH JADI TIHANGNA
ZAKAT DINDING SHAUM KUSENNA
HAJI NU JADI KENTENGNA

RUKUN ISLAM TEH PAHAMKEUN
AMALIAHNA GERAKKEUN
PENGGERAKNA GE DI JIEUN
AGUNGNA ISLAM BUKTIKEUN

SYAHADAT KUDU NGABUKUR
MA’RIFAT, MAHABBAH, SYUKUR
JIHAD BERJUANG SING AKUR
HATE IKHLAS ULAH KABUR

SYAHADAT TEH DIKUATAN
TOLAB ELMU, MACA QUR’AN
LOBA DZIKIR KA PANGERAN
NGALAWAN NAFSU JEUNG SETAN

SOLAT GE KUDU NGABUAH
MUNAJAT SINARENG QURBAH
TA’AWUN SARENG IMAMAH
KAHIRUPAN SING BAROKAH

SOLAT KUDU DIPERKUAT
AWAL WAKTU BERJAMAAT
MAKMUR MASJID KHUSYU KHIDMAT
SING LENGKEP FARDHU JEUNG SUNAT

QOBLIYAH BA’DIYAH KETAT
TAHAJUD, TASBEH JEUNG HAJAT
DHUHA JEUNG SUNAT SEJEN NA
USAHAKEUN SING SAMPURNA

ZAKAT SING PUGUH BUKTINA
TANMIYAH JEUNG BAROKAHNA
TA’AWUN, TAQODDUM, IZZAH
ISLAM TEH NYATA HEBATNA

ZAKAT NYATA PERJUANGAN
MUN NISAB GEURA ZAKATAN
CAN NISAB GE LALANYAHAN
DUA SETENGAH PERSENAN

TI LEULEUTIK BIASAKEUN
SAWAREHNA HARTA BIKEUN
BENTUK AMILIN NU LEUKEUN
SIFAT AMANAH TEGAKEUN

SHAUM OGE KUDU NYATA
SOBAR, TAHAMUL, QURBAH NA
BAROKAH SARTA WUSULNA
ISLAM TEH NYATA TANGGUHNA

SHAUM ROMADHON MANTEPKEUN
TADARUS QIYAM LENGKEPKEUN
ZAKAT FITRI LAKSANAKEUN
SILATURAHMI KUATKEUN

SHAUM WAJIB SING SAMPURNA
SUNNAT JEUNG SENEN KEMISNA
‘ARFAH DAUD JEUNG LIYANA
SHAUM KASUCIAN NANA

HAJI KUDU BUKTI MABRUR
IMAN IBADAHNA LUHUR
BISA NGAGERAKEUN BATUR
UMAT AKUR ISLAM LUHUR