Laman

Senin, 26 Maret 2012

APA ITU NUR MUHAMMAD?

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar


Dalam ilmu tasawuf, Nur Muhammad mempunyai pembahasan mendalam. Nur Muhammad disebut juga hakikat Muhammad.

Sering dihubungkan pula dengan beberapa istilah seperti al-qalam al-a’la (pena tertinggi), al-aql al-awwal (akal utama), amr Allah (urusan Allah), al-ruh, al-malak, al-ruh al-Ilahi, dan al-ruh al-Quddus.

Tentu saja, sebutan lainnya adalah insan kamil. Secara umum istilah-istilah itu berarti makhluk Allah yang paling tinggi, mulia, paling pertama dan utama. Seluruh makhluk berasal dan melalui dirinya. Itulah sebabnya Nur Muhammad pun disebut al-haq al-makhluq bih atau al-syajarah al-baidha' karena seluruh makhluk memancar darinya.

Ia bagaikan pohon yang daripadanya muncul berbagai planet dengan segala kompleksitasnya masing-masing. Nur Muhammad tidak persis identik dengan pribadi Nabi Muhammad SAW. Nur Muhammad sesungguhnya bukanlah persona manusia yang lebih dikenal sebagai nabi dan rasul terakhir.

Namun tak bisa dipisahkan dengan Nabi Muhammad sebagai person, karena representasi Nur Muhammad dan atau insan kamil adalah pribadi Muhammad yang penuh pesona. Manusia sesungguhnya adalah representasi insan kamil. Oleh karena itu, dalam artikel terdahulu, manusia dikenal sebagai makhluk mikrokosmos.

Sebab, manusia merupakan miniatur alam makrokosmos. Posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul dapat dikatakan sebagai miniatur makhluk mikrokosmos karena pada diri beliau merupakan tajalli Tuhan paling sempurna. Itu pula sebabnya, mengapa Nabi Muhammad mendapatkan berbagai macam keutamaan dibanding nabi-nabi sebelumnya.

Bahkan hadits-hadits Isra’ Mikraj menyebutkan, Rasulullah pernah mengimami nabi yang pernah hidup sebelumnya. Melalui Nur Muhammad, Tuhan menciptakan segala sesuatu. Dari segi ini, Al-Jilli menganggapnya qadim dan Ibnu ‘Arabi menganggapnya qadim dalam kapasitasnya sebagai ilmu Tuhan dan baharu ketika ia berwujud makhluk.

Namun perlu diingat bahwa konsep keqadiman, menurut Ibnu Arabi, ada dua macam, yaitu qadim dari segi dzat dan qadim dari segi sesuatu itu masuk ke wilayah ilmu Tuhan. Nur Muhammad, menurut Ibnu Arabi, masuk kategori qadim jenis kedua, yaitu bagian dari ilmu Tuhan (qadim al-hukmi) bukan dalam qadim al-dzati.

Dengan demikian, Nur Muhammad dapat dianggap qadim dalam perspektif qadim al-hukmi, namun juga dapat dianggap sebagai baharu dalam perspektif qadim al-dzati. Dalam satu riwayat juga pernah diungkapkan bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai nabi pertama dan terakhir.

Ia disebut sebagai nabi pertama dalam arti bapaknya para ruh (abu al-warh al-wahidah), nabi terakhir karena memang ia sebagai khatam an-nubuwwah wa al-mursalin.

Sedangkan, Nabi Adam hanya dikenang sebagai bapak biologis (abu al-jasad). Jika dikatakan Muhammad SAW nabi pertama dan terakhir bagi Allah SWT, tidak ada masalah.

Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang kelihatannya paradoks, seperti al-awwal wa al-akhir, al-dhahir wa al-bathin, al-jalal wa al-jamal, juga tidak ada masalah bagi-Nya, karena itu semua hanya di level puncak (al-a’yan ats-tsabitah) atau wujud potensial, tidak dalam wujud aktual (wujud al-kharij).

Dasar keberadaan Nur Muhammad dihubungkan dengan sejumlah ayat dan hadits. Di antaranya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan." (QS. Al-Maidah 15).

Ayat lainnya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab: 21). Ada pula hadits, "Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat."

Hadits riwayat Bukhari menjadi dasar lainnya, yaitu "Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur." Ada lagi suatu riwayat panjang yang banyak ditemukan dalam literatur tasawuf dan literatur-literatur Syiah adalah pertanyaan Sayyidina Ali RA kepada Rasulullah.

"Wahai Rasulullah, mohon dijelaskan apa yang diciptakan Allah sebelum semua makhluk diciptakan?"

Rasul menjawab, "Sebelum Allah menciptakan yang lain, terlebih dahulu Ia menciptakan nur nabimu (Nur Muhammad). Waktu itu belum ada lauh al-mahfuz, pena (qalam), neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, jin, dan manusia.

Kemudian dengan iradat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Ia membagi Nur itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Ia menciptakan qalam, lauh al-mahfuz, dan Arasy. Ketika Ia menciptakan lauh al-mahfuz dan qalam, pada qalam itu terdapat seratus simpul.

Jarak antar simpul sejauh dua tahun perjalanan. Lalu, Allah memerintahkan qalam menulis dan qalam bertanya, 'Ya Allah, apa yang harus saya tulis?' Allah menjawab, 'Tulis La Ilaha illa Allah, Muhammadan Rasul Allah.' Qalam menjawab, 'Alangkah agung dan indahnya nama itu, ia disebut bersama asma-Mu Yang Maha Suci.'

Allah kemudian berkata agar qalam menjaga perilakunya. Menurut Allah, nama tersebut adalah nama kekasih-Nya. Dari nur-Nya, Allah menciptakan Arasy, qalam, dan lauh al-mahfuz. Jika bukan karena dia, ujar Allah, dirinya tak akan menciptakan apa pun. Saat Allah menyatakan hal itu, qalam terbelah dua karena takutnya kepada Allah."

"Sampai hari ini, ujung qalam itu tetap terbelah dua dan tersumbat sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia Ilahi."

"Oleh karena itu, jangan ada seorang pun gagal dalam memuliakan dan menghormati nabinya atau menjadi lalai dalam meneladaninya. Selanjutnya, Allah memerintahkan qalam untuk menulis."

"Qalam bertanya, Apa yang harus saya tulis, ya Allah? Dijawab oleh Allah, Tulislah semua yang akan terjadi sampai hari pengadilan. Qalam pun kembali bertanya tentang apa yang harus ia mulia tuliskan. Allah menegaskan, agar qalam memulai dengan kata-kata, Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim."

"Dengan rasa hormat dan takut yang sempurna, kemudian qalam bersiap menulis kata-kata itu pada Lauh Al-Mahfudz dan menyelesaikan tulisan itu dalam kurun waktu 700 tahun. Saat qalam telah menulis kata itu, Allah menyatakan bahwa qalam telah menghabiskan 700 tahun menulis tiga nama-Nya."

Ketiga nama itu adalah nama keagungan-Nya, kasih sayang-Nya, dan empati-Nya. Tiga kata-kata yang penuh barakah ini dibuat sebagai hadiah bagi umat kekasih-Nya, yaitu Muhammad. Di samping ayat dan hadis tersebut di atas juga masih ada nasihat atau perkataan yang menarik untuk dikaji bersama.

Antara lain, ungkapan yang disampaikan Al-Khallaj sebagai berikut, "Maha Suci (dzat) yang nasut-Nya telah melahirkan rahasia cahaya lahut-Nya yang cemerlang; kemudian ia kelihatan bagi makhluk-Nya secara nyata dan dalam bentuk (manusia) yang makan dan minum."

Mungkin inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad memiliki berbagai keutamaan, seperti satu-satunya yang bisa mengakses langsung Sidrah Al-Muntaha, maqam paling puncak, diberi Lailah Al-Qadr, diberi hak memberi syafaat di hari kiamat, umatnya paling pertama dihisab, paling pertama masuk surga, dan paling berhasil misinya.

Dalam kitab Fushush Al-Hikam karya Ibnu Arabi, dibahas lebih mendalam hakikat Nur Muhammad (Haqiqah Al-Muhammadiyyah). Yang menarik di dalam pembahasan itu, kita semua umat manusia mempunyai unsur-unsur kemuhammadan (Muhammadiyyah) seperti halnya di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur keadaman (Adamiyyah).

Muhammadiyyah, Adamiyyah, dan sejumlah manusia suci lainnya, ternyata bermakna fisik dan simbolis, atau makna esoteris di samping eksoteris. Uraian tentang Nabi Muhammad, kemuhammadan, dan Nur Muhammad serta relasinya dengan kita sebagai sebagai makhluk mikrokosmos sangat menarik disimak.

Terlepas apakah nanti setuju atau tidak setuju keseluruhannya, itu wilayah otonomi intelektualitas kita masing-masing.Wallahua’lam.

Minggu, 11 Maret 2012

Mestikah Manusia Bertasawuf?

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq
Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik
Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat
(Imam Malik)

Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.

Pertanyaannya adalah mestikah manusia bertasawuf? Kalau itu mesti, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat?

Apa itu tasawuf?
Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.

Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.

Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.

Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?
Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.

Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.

Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.

Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.

Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.

Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.

Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.

Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?
Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.

Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.

Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.

Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.

Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.

Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.

Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.

Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.

Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.

Haruskan bertasawuf?

Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan.

Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.

Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.

Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.

MENGAPA KITA PERLU MURSYID ?

Mengapa Mursyid Diperlukan? (1)

Senin, 27 Pebruari 2012 14:54 WIB
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

"Barang siapa yang tidak mempunyai mursyid, setanlah yang akan menjadi gurunya." (Imam Malik).

"Jika seseorang berjalan tanpa mursyid, dia akan tersesat. Dia akan menghabiskan umurnya tanpa mencapai apa yang diharapkan." (Ibnu Athaillah).

Mursyid dalam literatur tasawuf berarti pembimbing spiritual bagi orang-orang yang menempuh jalan khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang menempuh jalan itu biasa disebut salik, dan jalan yang ditempuhnya disebut dengan thariqah.

Biasanya, mursyid dalam sebuah tarekat memiliki beberapa tingkatan, mulai dari mursyid utama (mursyid kamil) yang biasa juga disebut dengan syekh, sampai kepada mursyid pembantu, yang memiliki kewenangan terbatas dibandingkan kewenangan yang melekat pada mursyid utama.

Tugas dan fungsi mursyid

Tugas dan fungsi mursyid adalah membimbing, mendidik, dan menempa para salik yang juga disebut murid (orang-orang yang memiliki kesungguhan belajar mengenal Allah) dalam memahami jalan-jalan spiritual menuju Allah. Mursyid dengan tekun menuntun salik.

Langkah itu mulai dari proses pembersihan dan pencucian diri (tadzkiyah al-nafs) hingga di antara mereka mencapai pemahaman yang mendalam (ma’rifah) terhadap Al-Haq. Tugas dan fungsi mursyid di hadapan para salik menyerupai Rasulullah SAW di depan para sahabatnya.

Jika para sahabat dengan tekun dan penuh tawadhu di hadapan Rasulullah, para salik juga melakukan hal yang sama di hadapan mursyidnya. Mursyid pertama kali melakukan seleksi siapa yang bisa menjadi salik. Banyak cara dan metode ditempuh mursyid dalam menyeleksi calon salik.

Di Konya, Turki, calon salik yang akan bergabung dalam tarekat Jalaluddin Rumi dan selanjutnya menjalani latihan tarian sufi (Whirling Darwishes), diuji secara lisan di depan mursyid di maktab dalam bentuk balai-balai yang berjejer di dalam suatu kompleks.

Penentuan diterima atau ditolaknya seorang calon ditandai dengan arah sandal. Jika sandal calon salik menghadap pintu balai-balai, pertanda calon itu lulus. Sebaliknya, jika sandal membelakangi pintu, sang calon ditolak. Setelah resmi diterima, mursyid mulai melakukan bimbingan pembersihan diri pada para salik itu.

Hal tersebut dilakukan sebelum mursyid mengajarkan dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran spiritual. Ini dilakukan sebagaimana halnya Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebelum mengajarkan Alquran, terlebih dahulu dilakukan pembersihan dan penyucian jiwa, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, "Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 151).

Dalam ayat ini terungkap, sebelum dilakukan pengajaran (yu’allimukum) terlebih dahulu dilakukan penyucian diri (yuzakkikum). Dalam ayat lain juga ditegaskan, La yamassuhu illa al-thahharun. Maknanya, tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (QS. Al-Waqi’ah: 79).

Kesucian jiwa dan keluhuran pikiran tergambar dari kelembutan dan ketawaduan komunitas tasawuf dan tarekat, apalagi dari para salik kepada mursyid atau syekhnya.

Keadaan ini tergambar dari pernyataan Ali bin Abi Thalib, "Man ‘allamani harfan kuntu lahu ‘abdan. (Barang siapa mengajariku satu huruf, aku rela menjadi budaknya)."

Bahkan dikatakan, mursyid di tengah para muridnya bagaikan Nabi di tengah para sahabatnya. Dan salik yang belum menunaikan hak-hak mursyid, maka belum menunaikan hak-hak Allah. Itulah sebabnya, kitab tipis Al-Ta’lim al-Muta’allim yang mengajarkan etika pembelajaran, masih menjadi pelajaran wajib di pesantren.

Kriteria mursyid

Menjadi mursyid tentu lebih berat ketimbang menjadi salik. Selain sifat-sifat standar sebagai seorang shalihin/shalihat seperti alim, amanah, tawadu, terpercaya, wara', sabar, teladan dalam pengamalan syariat, dan tentunya berakhlak mulia. Posisi dan kedudukan mursyid juga terkadang ditentukan sistem dan organisasi setiap tarekat.

Tarekat yang dikenal secara umum (mu’tabarah) biasanya memberikan kriteria mursyid dengan sangat ketat. Berbeda dengan tarekat yang tidak populer (ghair mu’tabarah) biasanya lebih longgar. Secara khusus, seorang mursyid selalu berusaha membersihkan niat dan meluruskan tujuan hidup salik.

Mursyid juga mengetahui kemampuan salik, mendidik tanpa pamrih, menyesuaikan ucapan dan tindakan, menyayangi orang lemah, menyucikan ucapan, berbicara dengan bijaksana, selalu mengingat dan memuliakan Allah sewaktu berbicara, serta menjaga rahasia salik. Selain itu, mursyid pun mempunyai sikap memaafkan kesalahan salik, mengabaikan haknya sendiri, memberikan hak-hak salik, mampu membagi waktu untuk menyendiri atau berkhalwat dan beramal, serta selalu mengerjakan amal sunah dan amal-amal sosial.

Sejatinya, mursyid juga memiliki sifat-sifat lebih khusus seperti merasa fakir setelah kaya, merasa rendah setelah tinggi, merasa sepi setelah populer, memuliakan ilmu pengetahuan dan mengamalkannya, bersih jiwanya, dan lurus jalan pikirannya. Tentu saja, sifat-sifat tersebut sudah menjadi sifat-sifat alamiah para mursyid.

Jika mursyid menyimpang jauh dari kriteria, itu akan menimbulkan dampak luas di dalam masyarakat. Kriteria mursyid seperti di atas sesungguhnya juga dimiliki kalangan ulama, meski tak secara formal mereka menjadi mursyid. Bahkan, mungkin ada di antara mereka lebih layak menjadi atau disebut mursyid.

Para wali misalnya, banyak sekali yang tidak tergabung di dalam tarekat dan karenanya tidak disebut mursyid. Orang bisa disebut mursyid jika mempunyai salik. Seorang yang mumpuni tetapi tidak punya salik, tentu tidak mungkin disebut mursyid.

Kedudukan mursyid
Tidak sedikit pandangan kritis terhadap mursyid. Bahkan, ada yang menuduh mursyid sudah cenderung seperti Santo dalam agama Katolik yang memiliki kedudukan sakral dan difigurkan sebagai representasi Tuhan dalam menghadapi hambanya. Ada moto bahwa salik bagaikan mayat di depan mursyidnya.

Mursyid terlalu aktif dan dominan, tidak boleh dibantah; dan para salik harus menerima tanpa pamrih apa pun petunjuk dan perintah mursyid. Seolah-olah mursyid mematikan kreativitas salik. Apalagi sekarang, tidak sedikit orang mengaku atau dipersepsikan mursyid, tetapi sesungguhnya motifnya adalah hal bersifat duniawi.

Mursyid dan tarekat seperti inilah yang sering mencoreng keluhuran tujuan tasawuf dan tarekat. Namun, pandangan kritis berlebihan dalam menilai mursyid juga perlu dikritisi. Pada umumnya, mursyid yang sejati tidak pernah mau disebut sebagai mursyid, bahkan tidak sadar kalau dirinya dianggap mursyid.

Mursyid pada umumnya memiliki tujuan suci, yaitu ingin menyelamatkan para salik dalam menapaki jalan-jalan yang tidak umum. Banyak ulama besar yang tadinya menolak tasawuf dan kedudukan mursyid, tetapi belakangan berubah secara totak. Mereka menjadi pengamal tasawuf dan mursyid.

Di antara mereka adalah Ibnu Athaillah As-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzudin Ibnu Abdis Salam, Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Mereka sadar, jalan memperoleh makrifat tak bisa ditempuh hanya mengandalkan pengetahuan akal rasional yang cuma akan meraih ‘ilmul yaqin, belum sampai tahap haqqul yaqin.

Akhirnya, mereka pun menyadari, tanpa mursyid sulit untuk sampai kepada Allah (wushul). Dalam dunia kosmologi tasawuf, para salik yang berjalan tanpa bimbingan rohani mursyid, tidak akan atau sulit untuk membedakan mana bisikan-bisikan lembut (hawathif) yang datang dari Allah melalui malaikat atau dari setan atau jin.

Dari sinilah muncul sebuah adagium "Barangsiapa menempuh jalan khusus menuju Allah tanpa mursyid, mursyidnya adalah setan”. Menanggapi kecenderungan semakin maraknya pertumbuhan ajaran tasawuf dan tarekat di dalam masyarakat akhir-akhir ini, umat diimbau betul-betul teliti memilih tasawuf atau tarekat.

Jangan terlalu gampang terkecoh oleh promosi sebuah lembaga, atau terlalu cepat percaya pada kehadiran seorang mursyid. Mursyid yang sejati bukan orang yang mampu menebak rahasia pribadi, namun nasihatnya mengalir di dalam diri. Mursyid bukan pula orang yang mampu menuntun hanya dengan ucapan, tetapi juga mestinya mampu mengalirkan fibrasi dan energi spiritual di dalam diri kita.